Begini Rekomendasi Tim Reformasi Hukum: Grasi Massal Napi Narkoba hingga Revisi UU

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md

BeritaAzam.com, Jakarta – Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md, telah menyerahkan 150 rekomendasi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi rekomendasi itu beraneka rupa, dari usulan grasi massal napi narkoba hingga revisi undang-undang.
Berdasarkan keterangan pers dari Tim Percepatan Reformasi Hukum, penyerahan dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/9/2023) tadi.

Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum digarap tim yang terdiri dari berbagai kelompok kerja (pokja) selama tiga bulan. Dikutip dari detik.com, isi rekomendasi terdiri dari agenda prioritas jangka pendek hingga September 2024 dan jangka menengah hingga 2029. Rekomendasi itu telah memperhatikan masukan dari 18 pimpinan kementerian/lembaga dan 32 organisasi masyarakat sipil.

1. Pokja Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum
Pokja ini dipimpin Profesor Harkristuti Harkrisnowo dengan anggota Rifqi S Assegaf. Tim Percepatan menekankan pada perbaikan proses pengangkatan pejabat publik strategis (utamanya eselon I dan II) di institusi penegakan hukum dan peradilan, termasuk melalui lelang jabatan, verifikasi LHKPN dan LHA PPATK. Tim mengusulkan pula dilakukan asesmen untuk menilai kembali kelayakan mereka yang kini menjabat dalam berbagai jabatan strategis.

“Guna mendukung profesionalitas aparat, direkomendasikan agar dilakukan pembatasan penempatan anggota Polri di K/L/D dan BUMN,” kata Tim Percepatan Reformasi Hukum dalam keterangan pers tertulis.

Pemerintah juga diminta Tim untuk mengembalikan independensi dan profesionalitas KPK yang melemah akibat revisi UU KPK dan terpilihnya komisioner yang sebagian ‘bermasalah’, serta menolak pelemahan kembali MK melalui gagasan revisi UU MK saat ini. Beberapa UU yang bermasalah, seperti UU Narkotika, UU ITE dan KUHAP, didorong untuk segera direvisi, untuk meminimalisir penyalahgunaannya oleh aparat.

Dalam rangka mendorong kepastian hukum dan keadilan, Tim Percepatan mengusulkan pula agar pemerintah, bersama MA, untuk mempercepat eksekusi putusan pengadilan (baik perdata dan Tata Usaha Negara), putusan Komisi Informasi dan Rekomendasi Ombudsman. Diusulkan pula agar Polri menghentikan penyidikan yang sudah lebih dari 2 tahun namun tidak kunjung dilimpahkan (kecuali jika terkait pidana berat atau pelakunya belum ditemukan/buron).

BACA JUGA:  FH Unilak Gelar Diskusi Hak Imunitas Advokat dalam Penegakan Hukum

“Serta agar Presiden mengeluarkan grasi massal bagi narapidana penyalah guna narkotika dan pelaku tindak pidana ringan, termasuk untuk mengurangi overcrowding,” kata Tim.

2. Pokja Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam
Pokja ini dipimpin Profesor Hariadi Kartodihardjo dengan anggota Sandrayati Moniaga. Mereka merekomendasikan percepatan pembuatan prosedur ‘Satu Peta’. Mereka juga merekomendasikan pengakuan/pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat, dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, serta perlindugnan bagi pembela HAM-lingkungan. Mereka juga merekomendasikan Jokowi membentuk satuan tugas spesifik soal konflik agraria.

“Dalam hal penyelesaian konflik agraria dan mafia tanah serta eksekusi putusan perdata dan TUN terkait kasus agraria dan SDA, karena sifatnya yang kompleks dan membutuhkan rincian data, Tim Percepatan merekomendasikan agar Presiden membentuk dua Satuan Tugas (Satgas), yakni Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria serta Satgas Pemberantasan Mafia Tanah dan Korupsi SDA. Satgas-satgas tersebut diharapkan akan melakukan asesmen, identifikasi masalah dan kasus, serta mendorong penyelesaiannya. Termasuk di dalamnya, kasus-kasus konflik lahan, masalah perizinan (termasuk di pulau kecil dan terluar), serta optimalisasi penerimaan negara dari sektor SDA,” kata Tim dalam keterangan pers tertulis.

Tim Percepatan juga merekomendasikan agar PP Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut serta izin tambang yang ada di pulau-pulau kecil segera dicabut. Selain itu, pemerintah diminta untuk melakukan moratorium izin baru di daerah yang belum ada kajian lingkungan yang jelas (Kajian Lingkungan Hidup Strategis/KLHS) serta penggunaan personel TNI dan Polri dalam pengamanan obyek vital nasional sampai dilakukan asesmen terkait.

3. Pokja Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Pokja ini diketuai oleh Yunus Husein dengan anggota Dadang Trisasongko. Pokja ini menyoroti hajatan Pemilu. Tim Percepatan merekomendasikan pemantauan aturan terkait publikasi Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dan penggunaan Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) serta mendorong agar diterbitkannya aturan terkait optimalisasi penggunaan instrumen keuangan non-tunai (cashless), termasuk untuk mencegah praktik ‘beli suara’. Mereka ingin LHKPN diperkuat, whistleblower dilindungi, dan revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

BACA JUGA:  Ketum PWI Pusat akan Hadiri Puncak HPN Tingkat Provinsi Riau di Inhil

“Tim Percepatan juga berharap agar segera dilakukan revisi undang-undang tipikor dengan mengatur korupsi di sektor swasta, illicit enrichment, foreign public official bribery, dan trading in influence serta pengesahan rancangan undang-undang perampasan aset tindak pidana,” kata Tim.

4. Pokja Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan
Pokja ini diketuai oleh Susi Dwi Harijanti dengan anggota Bivitri Susanti. Pokja ini merekomendasikan pembentukan otoritas tunggal soal hukum.

“Tim Percepatan menghendaki adanya perubahan mendasar dalam kelembagaan pembuat peraturan, dimulai dengan menyusun peta jalan untuk pembentukan otoritas tunggal yang mengelola peraturan perundang-undangan, termasuk guna meningkatkan kualitas peraturan yang dibuat dan meminimalisir tumpang tindih kewenangan,” kata Tim.

Pokja ini juga merekomendasikan revisi Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011, sembari mempersiapkan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Revisi Perpres ini ditargetkan juga akan memberikan prosedur untuk mencegah disharmonisasi peraturan, serta menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan peraturan, termasuk dengan menjadikan petisi sebagai metode partisipasi,” kata Tim.

Demi menjamin hak-hak masyarakat untuk dapat mengakses peraturan, pemerintah perlu membuat suatu situs tunggal yang lengkap yang memuat rancangan peraturan, seluruh peraturan (pusat dan daerah) yang sudah diundangkan, serta dokumen terkait lain (misal naskah akademik dan notulensi pembahasan).*