Site icon berita Azam

Harmoni di Hutan Riau: Ketika Manusia dan Gajah Hidup Berdampingan

Zara Azizah, dari PHR (kedua dari kiri), Solfarina dari RSF, Suparto, kelompok tani dan Git Fernando dari RSF. Foto dok pribadi

Bayangkan hidup berdampingan dengan gajah raksasa di lahan pertanian Anda. Kehidupan yang penuh tantangan ini menjadi kenyataan bagi banyak masyarakat di Riau. Namun, sebuah inovasi sederhana telah mengubah segalanya…”

BeritaAzam.com, Riau – Pepohonan hijau masih menjulang tinggi dijantung hutan Provinsi Riau. Dan gajah-gajah liar terus bebas berkeliaran, hidup berdampingan antara manusia dan satwa liar adalah tantangan yang tak mudah.
Konflik kerap kali tak terhindarkan, mengancam kesejahteraan manusia dan keberlanjutan kehidupan gajah yang semakin terancam punah.

Hubungan gajah Sumatra liar dengan para petani di Riau hingga kini masih terjadi. Gajah masuk ke area perkebunan milik warga dan merusaknya. Peristiwa terdekat terjadi pada awal Juni lalu di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar.
Hewan bernama latin Elephas Maximus Sumatranus itu masuk ke area perkebunan di wilayah setempat.

Namun, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) punya cara unik untuk menjaga kelestarian alam di Blok Rokan. Mereka mengembangkan program agroforestri kerja bareng Yayasan Rimba Satwa Foundation (RSF). Program ini telah membawa banyak perubahan positif. Di Desa Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, sebanyak 87 kepala keluarga sudah bergabung dalam program ini.

Dan bukan cuma itu, 225 hektare lahan di sana sudah disulap jadi kawasan agroforestri, dengan lebih dari 32.500 pohon sudah ditanam. Bahkan, hingga 2023, sudah ada empat Kelompok Tani Hutan yang dibina RSF. Salah satunya,
Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya. Kelompok tani ini pun sudah mendapat bantuan bibit kambing untuk inisiasi Silvipastura. Hebatnya lagi, tahun ini mereka juga berhasil menyerap 1,28 ton karbon melalui program agroforestri tersebut.

Manager Education Program RSF, Solfarina, yang ditemui di Agroforestri Koridor Gajah di Duri, Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin, 12 Agustus 2024, memberitahu bahwa tujuan utama dari agroforestri ini adalah untuk mengurangi konflik antara manusia dan gajah.

“Ini jadi proyek percontohan yang menarik karena sebelumnya kita fokus ke mitigasi konflik satwa dan manusia,” jelasnya.

Selain itu, program ini juga mendukung ketahanan pangan masyarakat dan memulihkan habitat gajah. Di Balai Raja, Giam Siak Kecil, Riau, program ini melibatkan masyarakat yang lahannya sering jadi tempat “nongkrong” gajah, dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah tapi tetap punya nilai ekonomi tinggi. Keuntungan dari program ini sangat banyak!

Selain membantu mengurangi jejak karbon lewat penanaman pohon, program ini juga menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan tentu saja, menciptakan ruang yang aman bagi gajah. Plus, ruang untuk gajah
hidup tanpa konflik dengan manusia juga jadi lebih luas.

Menurut Solfarina, sebelum memulai proyek ini, tim RSF sempat melakukan penelitian tentang tanaman apa yang tidak disukai gajah, tapi tetap menguntungkan secara ekonomi. Beberapa tanaman yang dipilih antara lain jengkol, petai, gaharu, matoa, durian, dan pulai. Walau belum menghasilkan buahnya saat ini, paling tidak sudah menjadi harapan baru bagi masyarakat sekitar.

Solfarina mengisahkan, RSF sendiri didirikan pada 2016 sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib gajah di Duri. Awalnya, RSF beranggotakan para pecinta alam yang sering naik gunung dan masuk hutan. Suatu hari, mereka bertemu dengan gajah yang terluka parah. Melihat kondisinya, mereka merasa harus melakukan sesuatu, dan dari situlah RSF lahir. Sekarang, RSF fokus pada konservasi beberapa spesies seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, dan Lutung Sumatera.

Menurut wanita yang dijuluki dewi penjaga gergasi rimba dari Bumi Lancang Kuning ini, program yang mereka jalankan sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal itu dibenarkan Suparto. Sekretaris Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya, ini menceritakan, semula program ini menimbulkan keraguan. “Kami sempat ragu, tapi setelah melihat hasilnya, kami sangat antusias. Pendapatan kami meningkat, dan yang paling penting, kami bisa hidup rukun dengan gajah,”
ungkapnya dengan senyum bangga.

Dari yang dulunya melihat gajah sebagai ancaman, kini Suparto mengaku para kelompok tani belajar hidup berdampingan dan merasakan manfaat ekonomi dari program ini. Dulu, tahun 1995 hingga 2020, Suparto menyebut mereka sering berkonlfik dengan hewan berbelalai tersebut. Membakar petasan dan cara kuno lain sering digunakan untuk mengusir gajah liar, baik yang berkelompok maupun tunggal dari kebun kelapa sawit dan karet warga. “Tapi sekarang kami sudah sadar, gajah juga berhak untuk hidup dan mencari makan,” ucapnya.

Kesadaran tersebut timbul setelah Suparto dan warga setempat mengenal dan mendapat edukasi serta sosialisasi dari anggota Rimba Satwa Foundation (RSF) yang merupakan mitra program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PT
Pertamina Hulu Rokan (PHR).

Kini, Suparto bersama anggota KTH lainnya mengelola program agroforestri yang merupakan program kemitraan RSF dan PHR. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi interaksi negatif dengan gajah melalui pertanian. Mereka juga melakukan
rehabilitasi habitat dengan menambah volume tumbuhan yang menjadi pakan gajah.

Rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Foto dok pribadi

Mereka menggarap budidaya rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Rumput itu dipelihara di sebuah pekarangan kecil di belakang rumah-rumah warga.

Setelah ukurannya cukup besar, rumput-rumput itu kemudian ditanam kembali di koridor jalur gajah, tepi sungai, atau batas-batas kebun masyarakat. Tujuannya agar gajah tetap berada di jalurnya dan mendapatkan sumber makanan. Dengan
cara ini, permukiman dan kebun warga tetap aman dari gajah, dan mereka dapat hidup berdampingan. Hasilnya? Interaksi negatif dengan gajah menurun drastis!

Dukungan PT PHR Mengurangi Konflik

Zara Azizah, Sr. Analyst Social Perfomance Support PT PHR mengungkapkan betapa pentingnya pendekatan ini. “Agroforestri adalah solusi yang win-win. Kita bisa panen hasil bumi, gajah tetap memiliki ruang untuk mencari makan, dan lingkungan pun tetap terjaga,” jelasnya.

Program ini bukan hanya tentang mengelola lahan, ia menjembatani kebutuhan manusia dan satwa liar, menciptakan harmoni di mana sebelumnya hanya ada ketegangan. Program ini juga bertujuan mendukung ketahanan pangan dan
meningkatkan ekonomi masyatakat, serta pemulihan fungsi hutan, sebagai habitat satwa dan pengurangan potensi konflik gajah dan manusia di lansekap koridor Suaka Margasatwa (SM) Balairaja dan SM Giam Siak Kecil.

Zara juga menambahkan dimensi lain dari program ini. “Ini bukan sekadar menanam pohon. Kami juga melibatkan masyarakat dalam pelatihan agar mereka bisa mengelola lahan secara berkelanjutan,” katanya.

Dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat setempat, mereka tidak hanya diberdayakan tetapi juga diajak untuk menjadi bagian dari solusi.

Dukungan PT PHR dalam meminimalisir konflik gajah dengan manusia disebut wanita berparas manis ini tak lain karena turut melestarikan lingkungan. Karena tentu selama melakukan kegiatan operasi secara tidak langsung memberikan dampak kepada lingkungan sekitar.

Walaupun belum terdengar atau terdata, ada gangguan terhadap operasional PHR oleh habitat gajah secara langsung tetapi sebagian wilayah berkonflik itu merupakan desa-desa dalam operasional PHR. “Secara langsung tidak ada,”
ujarnya.

Zara menegaskan, sebagai bentuk komitmen TJSL PHR dalam menjaga habitat hewan liar di WK Rokan dan lingkungan, pihakya akan terus memperhatikan dan mensosialisasikan betapa pentingnya menjaga satwa serta lingkungan kepada
masyarakat.

Konservasi Gajah Berbasis Satelit

Dan yang menarik, kelompok-kelompok gajah di Riau kini bisa dipantau secara real-time melalui sistem navigasi berbasis satelit (GPS) berkat lima unit kalung GPS Collar yang dipasang pada pemimpin kelompok gajah. Kedua GPS ini berfungsi untuk memonitor pergerakan dan memberikan data lokasi keberadaan kelompok gajah, sehingga potensi konflik gajah dan manusia dapat dimitigasi lebih dini. Dan berdasarkan data Rimba Satwa Foundation (RSF), sepanjag 2021 – 2023, terdapat 178 konflik antara gajah dan manusia, dan 156 diantaranya dapat ditangani dengan baik.

Menurut Git Fernando, seorang ahli pemetaan dari RSF, pemanfaatan teknologi GPS Collar adalah sebagai early warning system. “5 unit GPS Collar sudah terpasang di 3 kantong gajah. Dan 34 desa telah menjadi penerima manfaatnya,”
terangnya.

Dia menekankan bahwa pentingnya data dalam keberhasilan program agroforestri ini. “Data spasial sangat penting. Dengan peta, kita bisa mengidentifikasi area konflik, merencanakan penanaman, dan memantau perkembangan program,”
jelasnya.

Dengan bantuan teknologi, upaya konservasi menjadi lebih terarah dan efektif, memastikan bahwa semua pihak baik manusia maupun satwa liar mendapatkan manfaat yang optimal.

Program Bernilai Strategis

Pakar ekologi manajemen satwa liar IPB University, Profesor Burhanuddin Masyud, mengapresiasi PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang menjalankan Program Konservasi Gajah Sumatera di Riau. Terlebih, melalui program tersebut, PHR juga meraih penghargaan bergengsi Green World Environment Award 2024 sebagai Global Winner untuk kategori Fuel,
Power& Energy/Conservation & Wildlife Project beberapa waktu lalu.

Dikutip dari JPNN, PHR WK Rokan merupakan satu dari 25 perusahaan penerima penghargaan dari total 500 kompetitor lain dalam penghargaan untuk praktik terbaik lingkungan dari seluruh dunia. PHR merupakan satu-satunya perusahaan
dari Indonesia yang menerima penghargaan tersebut.

“Sangat bagus. Konservasi tersebut berperan dalam melestarikan gajah sebagai satwa yang dilindungi dan juga sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati nasional. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam menjamin
kelestarian seperti Pertamina menjadi sangat penting,” kata Burhanuddin.

Menurut Burhanuddin, program yang dijalankan PHR merupakan mitigasi awal. Yakni, untuk mencegah konflik antara gajah dan masyarakat. Dengan demikian, bisa mengurangi risiko lebih lanjut, baik dilihat dari sisi keselamatan
manusia maupun risiko dibunuhnya satwa tersebut.

“Potensi ancaman kematian pada gajah di satu sisi dan keselamatan masyarakat di sisi yang lain bisa, diantisipasi lebih awal. Jadi semacam langkah-langkah mitigasi,” lanjut Burhanuddin.

Menurut Burhanuddin, upaya konservasi memang sebuah keniscayaan. Hal itu seiring banyaknya alih fungsi hutan atau lahan, misal menjadi industri dan perkebunan. Dalam kondisi demikian, terdapat kemungkinan gajah akan kembali ke
wilayah yang semula dihuni, namun ternyata sudah beralih fungsi.

“Satu tahun dia berputar. Ada masa-masa aktivitas kawin, mencari makan. Tetapi memang ada kecenderungan gajah kembali lagi ke wilayah semula. Jika ternyata sudah beralih fungsi, di sanalah antara lain terjadi potensi konflik. Itulah pentingnya konservasi seperti yang dilakukan PHR,” jelasnya.

Itu sebabnya, konservasi yang merupakan bagian dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHR tersebut, sangat berperan dalam melestarikan habitat gajah dan mengatasi konflik terhadap manusia.

Bahkan, program PHR juga bisa menjadi percontohan bagi perusahaan lain. Termasuk industri atau perkebunan yang memiliki lahan-lahan yang bersinggungan dengan ruang gerak gajah tersebut. Program konservasi gajah yang dilakukan PHR tersebut, ujarnya, merupakan komitmen positif untuk menyelamatkan gajah dan menjamin kehidupan masyarakat.

“Bisa jadi benchmark. Bahkan, saya kira juga bagus, kalau Pertamina (Hulu Rokan) menginisiasi stakeholders lain, apalagi bisa bergandengan bersama,” kata Burhanuddin.

Yang jelas, agroforestri telah membuka jalan baru dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Program ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga tentang menanam benih-benih perdamaian antara manusia dan alam, menjadikan keduanya sahabat dalam menjaga bumi yang kita cintai.*

Exit mobile version