Kemendagri Selenggarakan Forum Pemahaman Bersama tentang Nilai Ekonomi Karbon

Restuardy Daud, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengimbau seluruh staf Ditjen Bina Pembangunan Daerah untuk sungguh-sungguh memahami pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di tingkat daerah. Foto: Humas Kemendagri

BeritaAzam.com, Jakarta – Restuardy Daud, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengimbau seluruh staf Ditjen Bina Pembangunan Daerah untuk sungguh-sungguh memahami pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di tingkat daerah.

Pesan tersebut disampaikan dalam forum pemahaman bersama mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, pada Rabu (9/08/2023).

Restuardy berharap forum ini akan membantu membangun pemahaman dan pandangan semua anggota staf Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri tentang perubahan iklim dan mitigasi emisi gas rumah kaca. Terutama, bagaimana hal ini terkait dengan tugas dan peran Ditjen Bina Pembangunan Daerah.

Sementara itu, Gunawan Movianto, Plh. Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, menjelaskan bahwa tujuan dari forum ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang pelaksanaan nilai ekonomi karbon. Konsep ini mencakup berbagai sektor seperti industri, perdagangan, pertanian, kehutanan, energi, dan sumber daya mineral.

“Terdapat tiga hal yang penting untuk ditekankan kepada pemerintah daerah, yaitu tata cara perdagangan karbon, offset, dan result based payment. Pemerintah daerah bisa mendapatkan manfaat dari NEK, terutama dalam hal pendapatan daerah,” jelas Gunawan.

Wawan Gunawan, Kasubdit Dukungan Sumberdaya Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK, memaparkan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sejak ratifikasi Paris Agreement pada 2016. Kemudian dilanjutkan dengan update Nationally Determined Contributions (NDC) pada 2021 dan Enhance NDC pada 2022.

Wawan menyebutkan bahwa di dalam lima sektor yang termuat dalam NDC, terdapat dua sektor utama yang memiliki kontribusi dan target terbesar, yakni sektor kehutanan dan Forestry and Other Land Used (FOLU), serta sektor energi.

BACA JUGA:  Tinjau Lapangan Pengeboran di Minas, Manajemen PHR Kembali Tegaskan Utamakan Keselamatan Kerja

Rizaldi Broer, Tenaga Ahli CCROM IPB, menyoroti tantangan utama dalam mencapai NDC, terutama di tingkat daerah. Bagaimana caranya Pemerintah Daerah dapat menetapkan baseline dan target yang konsisten dengan NDC. Jika hal ini tidak dijalankan dengan baik, maka arti dari target yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah menjadi kurang berkontribusi dalam pencapaian NDC.

Menurutnya, diperlukan proses disagregasi baseline dari tingkat nasional ke tingkat provinsi, di mana pemerintah pusat mendistribusikan baseline ke daerah dan daerah menetapkan targetnya. Tetapi, target ini harus tetap selaras dengan target nasional.

Dalam forum yang sama, Arif Budiman dari Tenaga Ahli Winrock International menjelaskan peran Kemendagri dalam pencapaian NDC. Kemendagri berperan dalam mengembangkan kapasitas pemerintah daerah, pelaku aksi mitigasi, penyusun kerangka kerja, jaringan komunikasi, dan penyusun kebijakan rencana dan program. Meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian teknis sesuai sektor, Kemendagri tetap berperan dalam mengkoordinasikan NDC dengan kebijakan pembangunan daerah.

Khoirunurrofik dari Tenaga Ahli Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, menjelaskan tentang implementasi Nilai Ekonomi Karbon berdasarkan Perpres 98/2021. Pemerintah daerah perlu menyusun baseline Emisi GRK dan target penurunan emisi provinsi, serta Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim provinsi. Namun, daerah membutuhkan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi, selain dari APBN dan APBD.

Riko Wahyudi, Tenaga Ahli Research Center for Climate Change (RCCC) UI, menguraikan bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam offset emisi di sektor Forest and Other Land Used (FOLU). Caranya adalah dengan mendorong percepatan perizinan dan pendampingan perhutanan sosial, serta membuat bisnis karbon sebagai rencana bisnis perhutanan sosial. Selain itu, kelompok usaha perhutanan sosial juga dapat menjadi perantara untuk mendapatkan manfaat dari status perak.

BACA JUGA:  UMKM Raup Omset Hingga Rp130 Juta di Pertamina SMEXPO 2023 Pekanbaru

Terakhir, Juliarta Bramansa Ottay dari Perkumpulan Mandala Katalika Indonesia (Manka) membahas sumber pendanaan untuk penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Sumber ini bisa berasal dari APBN dan/atau APBD, usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan emisi GRK dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan NEK, alokasi pembagian manfaat penyelenggaraan NEK, terutama bagi kegiatan adaptasi perubahan iklim, serta sumber lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Pada penutup forum, Dyah Sih Irawati, Kepala Subdirektorat Kehutanan SUPD I, mewakili Setditjen Bina Pembangunan Daerah, berharap bahwa forum ini bisa menjadi langkah awal bagi Ditjen Bina Pembangunan Daerah dalam melaksanakan tugasnya untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam menyusun, menetapkan, dan mengubah baseline emisi GRK provinsi. Selain itu, juga dalam melakukan pembahasan Rencana Aksi Mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Mereka juga akan mengoptimalkan sinkronisasi dan harmonisasi target penurunan GRK sesuai kebijakan NDC 2030 dalam dokumen perencanaan daerah.*