Dalam era digital yang terus berkembang pesat, peran wartawan sebagai penghubung antara informasi dan masyarakat semakin penting. Wartawan memiliki tanggung jawab besar untuk menyajikan berita yang akurat, objektif, dan berdampak positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, penerapan kode etik jurnalistik (KEJ) dan kode perilaku yang kuat sangatlah krusial dalam menjaga profesionalisme dan integritas wartawan di era digital.
Pertama-tama, kode etik jurnalistik memberikan panduan tentang tata cara yang harus diikuti oleh wartawan dalam melaksanakan tugas mereka. Kode ini mencakup prinsip-prinsip kebenaran, akurasi, keberimbangan, dan keadilan. Dalam era di mana berita dapat dengan mudah disebarkan melalui platform digital, wartawan harus memastikan bahwa mereka tidak hanya menyebarkan informasi yang benar, tetapi juga melibatkan sudut pandang yang beragam dan mencerminkan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Selain itu, KEJ juga mengatur tentang perlindungan privasi individu. Dalam era digital yang didominasi oleh aliran informasi yang bebas, wartawan harus berhati-hati untuk tidak melanggar privasi individu dalam mencari berita. Wartawan harus menjaga keamanan dan kerahasiaan sumber informasi yang mereka gunakan, sehingga tidak ada yang merasa terancam atau terpapar risiko yang tidak diinginkan akibat pemberitaan.
Di era di mana berita palsu dan disinformasi dapat dengan mudah menyebar, penerapan KEJ menjadi semakin penting. Wartawan harus melakukan verifikasi fakta yang seksama sebelum menyebarkan berita, mengonfirmasi keaslian sumber informasi, dan memastikan bahwa mereka tidak turut serta dalam menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan. Dengan melawan disinformasi, wartawan dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi jurnalistik dan membantu membangun masyarakat yang lebih berpengetahuan dan kritis.
Selain KEJ, kode perilaku juga menjadi penting. KP mencakup aspek-aspek seperti integritas, transparansi, dan kemandirian. Wartawan harus berkomitmen untuk tidak terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis, seperti menerima suap atau yang dapat mempengaruhi independensi. Wartawan harus transparan tentang sumber pendanaan dan kepentingan yang mungkin memengaruhi pemberitaan. Dengan mematuhi KP, wartawan dapat menjaga integritas profesi dan membangun kepercayaan masyarakat.
Wartawan juga perlu memahami dan mengikuti etika digital dalam melaksanakan tugas. Harus mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari pemberitaan di platform digital, termasuk dampak sosial dan emosional yang mungkin timbul. Wartawan juga harus memahami hak cipta, keamanan data, dan hak privasi dalam lingkungan digital.
Secara keseluruhan, pentingnya KEJ dan KP di era digital bagi wartawan tidak dapat diabaikan. KEJ dan KP membantu wartawan menjaga profesionalisme, integritas, dan kepercayaan masyarakat. Arus informasi yang begitu cepat menyebar melalui platform digital, wartawan memiliki peran yang signifikan dalam membentuk pandangan dan pemahaman masyarakat.
Dengan menerapkan KEJ dan KP yang sesuai, wartawan dapat memainkan peran yang bertanggung jawab dan berdampak positif dalam menyajikan informasi yang benar, objektif, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kode Etik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam etika ada tiga pengertian, selain ilmu tentang apa yang baik dan buruk; juga kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; serta nilai mengenai
benar dan salah yang dianut oleh masyarakat kita.
Menurut pakar komunikasi Alex Sobur dalam “Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani” (2001) menyebutkan, “Dalam menjalankan profesi apapun, etika juga merupakan hal yang penting. Karenanya, pada beberapa profesi, telah dikenakan kode etik profesi yang secara otomatis menjadi patokan dasar bagi kaum profesional itu untuk menjalankan profesinya. Jurnalis sangat terikat dengan pelaksanaan etika profesinya karena etika berfungsi menjaga para pelaku profesi – dalam hal ini jurnalis – tetap berkomitmen menjaga pranata sosial dalam lingkungannya.
Mengutip Eni Setiati dalam “Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik,” (2005) bahwa etika menjadi syarat mutlak bagi insan pers atau jurnalis dalam menjalankan tugas dan menyajikan berita bagi masyarakat. Kode etik merupakan rambu-rambu landasan moral, kaidah penuntun sekaligus pemberi arah bagi wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Kemudian bila di tinjau dari Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers tahun 2008: Pasal 3 “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Di Indonesia, pelanggaran kode etik dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, sifat kode etik yang berkaitan dengan moral tiap individu jurnalis. Kedua, latar belakang jurnalis yang berbeda-beda. Banyak jurnalis yang tidak disiapkan
secara profesional (jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan).
Ketiga, tingkah laku sosial masyarakat yang tidak layak. Keempat, makna kebebasan pers yang tidak bisa dipahami pelaku media sehingga tidak ada mekanisme kontrol.
Kelima, belum adanya tradisi profesional untuk menghormati kode etik. Keenam, profesi jurnalis masih dianggap sebagai mata pencaharian pada umumnya. Dan ketujuh, perusahaan pers yang tidak memihak profesi jurnalis, terutama terlihat pada pemberian upah yang kurang layak.
Etika sebagai hal yang perlu mendapat perhatian khusus karena etika merupakan salah satu bentuk kontrol internal dalam media massa. Kontrol internal ini sangat memengaruhi wartawan dalam memberlakukan fakta secara profesional.
Etika jurnalistik yang perlu diperhatikan oleh wartawan adalah (1) objektif, (2) jujur, (3) tidak menerima suap, (4) tidak menyiarkan berita sensasional, (5) tidak melanggar privasi dan (6) tidak melakukan propaganda.
Hal-hal ini akan berpengaruh pada kebenaran informasi yang akan diterima publik. Asumsinya, bila jurnalis memberikan fakta yang tidak benar, maka publik akan terbohongi. Meski etika telah dirumuskan dalam kode etik (code of ethics) dan dioperasionalisasikan dalam kode perilaku (code of conduct), namun hal ini tetap bersumber pada individu. Artinya kesadaran masing-masing individu sangat menentukan pelaksanaan etika itu sendiri.
Rambu-rambu Bagi Wartawan
Kasus sengketa pers yang masih terjadi hingga hari ini, patut menjadi otokritik bagi awak media. Hasil survei Dewan Pers mendapati 70 persen wartawan di Indonesia masih buta soal Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Padahal KEJ merupakan ‘kitab suci’ atau pedoman wartawan dalam bertugas. Dengan mengimplementasikan KEJ sudah pasti profesionalitas wartawan diakui. Selain itu juga dapat menyelamatkan wartawan atau media dari sengketa hukum yang melelahkan.
Meski posisi pers sebagai pilar demokrasi yang independen dan bebas dalam menyampaikan aspirasi, tetap harus berpedoman pada KEJ agar terhindar dari sengketa hukum. Jadi memang perlu berhati-hati dan melek hukum.
KEJ inilah menjadi pembeda antara media massa (pers) dengan media sosial (medsos). Wartawan sudah jelas beda dengan pegiat medsos, karena jurnalis diikat dengan aturan yang mengikat sesuai UU No 40 Tahun 1999 tentang pers.
Wartawan profesional menurut UU No 40/1999 adalah wartawan berkualitas didasarkan dari empat elemen, yakni pengetahuan, skill (kemampuan), kesadaran, dan leadership (kepemimpinan).
Dari sekian pembeda wartawan dan pegiat medsos adalah soal kesadaran. Bagaimana seorang wartawan dibebani tanggung jawab sebagai pilar demokrasi saat dia menyampaikan informasi yang berpengaruh besar kepada masyarakat.
Selain menjadi cerminan profesionalitas, semua ini juga untuk melindungi profesi wartawan yang juga rawan hukum. Untuk ini, Dewan Pers mengeluarkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang terdiri dari 11 pasal sekaligus penafsirannya.
Selain KEJ yang dikeluarkan Dewan Pers, bagi wartawan yang tergabung di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), juga harus mematuhi KEJ PWI. Pasal yang mengatur lumayan banyak. Terdiri dari 16 pasal. Sementara kode prilakunya ada 28 pasal.
Sementara untul wartawan media online memiliki kode etik tambahan berupa Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS). Karena media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan KEJ.
Mengapa KEJ Diperlukan?
KEJ lahir berdasarkan perintah UU No. 40/1999 tentang Pers. Disebutkan KEJ adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Dalam Pasal 7 ayat 2 menyebutkan, “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Itu berarti wartawan atau jurnalis dituntut menerapkan etika profesi dalam menjalankan tugasnya. Bekerja tanpa kode etik menunjukkan seseorang tidak profesioanal.
Berarti wartawan atau jurnalis harus mengetahui, mengerti dan mematuhi KEJ dan kode prilaku. Wartawan harus memiliki keduanya agar bisa berjalan di rel profesionalisme dunia pers Indonesia. Untuk menjadi wartawan atau jurnalis profesional, seorang wartawan tidak boleh bersikap “KEJ EGP” atau “Kode Etik Jurnalistik Emang Gue Pikirin.”
Ketidatahuan dan ketidakmengertian wartawan pada KEJ tentu menjadi keprihatinan bagi dunia pers dan masyarakat. Kenapa sikap EGP atau masa bodoh pada KEJ ada di kalangan wartawan? Bukankah KEJ adalah panduan kerja jurnalistik dan perintah UU Pers?
Perlu diingat, para wartawan penganut aliran KEJ EGP harus hati-hati. Ada rambu KEJ yang juga menjadi hukum positif di Indonesia dan bila dilanggar dapat dibawa ke ranah pidana.
Karena sesuai namanya, KEJ memang kumpulan pasal terkait etik yang harus dipatuhi wartawan. Perintahnya jelas berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. KEJ yang berisi 11 pasal ditetapkan Dewan Pers.
Bagi wartawan atau jurnalis, KEJ memiliki peranan sangat penting dalam dunia pers yang menjadi pedoman nilai-nilai profesi kewartawanan. Sehingga wajib dipahami dan dilaksanakan oleh wartawan. Dengan mematuhi KEJ yang berisi 11 pasal itu, berarti wartawan paham dalam mencari, meliput dan menyajikan berita.
Jika ada yang mengaku sebagai wartawan atau jurnalis, walau memiliki banyak kartu pers atau sudah punya sertifikat UKW tapi tidak tahu berapa jumlah pasal dalam KEJ, berarti wartawan tersebut tidak pernah melihat naskah KEJ atau tidak pernah membacanya.
Dengan kata lain, jika tidak pernah membacanya, bagaimana bisa mengerti dan patuh pada KEJ*
Oleh: Bambang Irawan Syahputra
Jurnalis/Pengurus PWI Riau