Tiada kebahagiaan melebihi kebahagiaan saat meyakini aparat hukum bersungguh – sungguh mau menegakkan hukum walaupun kejahatan itu terjadi di dalam tubuhnya sendiri.
Memang seperti itulah yang kita rasakan sejak Kamis (4/7/2022) ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengupdate langsung perkembangan pengusutan kasus “ Polisi Tembak Polisi”.
Meski tampak terbata- bata, Kapolri sudah menunjukkan kerja nyata menuntaskan kasus yang menghebohkan itu. Yang bukan hanya mempermalukan korps Bhayangkara, tetapi juga terutama seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang dengan segala keterbatasan membiayai penyeleggaraan negara melalui setoran pajaknya.
Memang, kita sudah semakin diyakinkan ketika untuk ketiga kalinya Presiden Jokowi kembali mengingatkan jajaran Polri agar membuka kasus yang menewaskan Brigadir Joshua seterang- terangnya 8 Juli lalu. Seruan Presiden Jokowi penting. Karena itu perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. Meletakkan posisi publik di tempatnya yang tepat : sebagai “atasannya”. “Supaya, tidak ada keraguan lagi di dalam masyarakat,” kata Presiden Jokowi.
Wajar jika seluruh rakyat bahagia. Sudah bertahun- tahun hanya menjadi penonton dalam dinamika politik bangsa, didikte dalam urusan penanganan ekonomi, dan hanya menjadi obyek dalam urusan hukum.
Hampir Diperdaya
Dalam urusan “ Polisi Tembak Polisi” ini saja pun publik hampir saja “diperdaya”. Disuruh mengikuti “skenario cerita” yang disusun oknum di markas polisi. Seperti di awal peristiwa itu terjadi. Yang sangat tidak masuk akal.
Masih sangat lekat dalam ingatan, bahkan sempat ada oknum penegak hukum dan oknum otoritas pers di Tanah Air hendak ” bersekongkol” hendak membungkam rakyat melalui saluran media pers.
Tidak. Sekali ini tidak. Publik berhak tahu. Rakyat berhak ragu. Berhak menguji argumentasi – argumentasi penegak hukum mengenai duduk perkara pembunuhan Brigadir Joshua di rumah atasannya. Terlalu mahal biaya pengabdian aparat berpangkat rendah itu jika mati tanpa kejelasan.
Kita sudah mengikuti sejak Kamis (4/8) Kapolri sudah menindak 25 perwira Polri, tiga di antaranya perwira tinggi berpangkat bintang satu. Semuanya diperiksa dalam perkara dugaan pelanggaran etika dengan pelbagai macam perbuatan. Kapolri menjanjikan tidak hanya sebatas pemeriksaan etika.
Kapolri menyatakan akan melanjutkan mempidanakan pula jika ditemukan unsur itu. Inilah buktinya. Hari itu posisi Barada E yang menembak Brigadir Joshua dengan alasan membela diri (versi skenario awal) sudah berubah status malah menjadi tersangka. Di hari yang sama, setelah dinonaktifkan sebagai Kadiv Propam Polri 18 Juli lalu, Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan keempat di Bareskrim Polri.
Dalam artikel “Fakta Baru Horor & Teror Kasus Polisi Tembak Polisi” ( 21 Juli 2022), saya sudah menuliskan optimisme kasus ini akan terungkap secara terang benderang. Saya mengutip pernyataan penulis Inggris terkenal Graham Greene ( 1904-1991). Greene bilang, “Seorang pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik maka dia bisa dianggap mengerikan.”
Saya memposisikan polisi sebagai orang baik. Para pengayom masyarakat, sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat Negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat : langsung dibawah Presiden. Dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI No. VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi dalam pengawasan dan tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden.
Saya mengira kengerian yang sama dirasakan Greene itulah yang membuat Kapolri mendapatkan dukungan publik yang luas untuk bertindak tegas. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupan di Indonesia ke depan jika kasus seperti itu tidak diusut tuntas.
Tim Khusus Kapolri pun bergerak cepat. Sabtu (6/8/2022) pecah berita : Irjenpol Ferdy Sambo tokoh sentral dalam pusaran peristiwa itu telah ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua. Penahanan Sambo memang menimbulkan kontroversi sejak semalam. Banyak yang pesimistis dan mencurigai penahanan itu hanya sebatas sanksi terkait dugaan pelanggaran etika. Tapi tak sedikit yang berkeyakinan penahanan itu terkait dengan temuan unsur pidana dalam pemeriksaannya.
Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan ” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, mendahului sumber resmi. Semangat pers itu saya mengekspresikan dambaan seluruh masyakat.
Yang penting, etika atau terkait pidana penahanan itu telah menunjukkan keseriusan pimpinan Polri pada janjinya. Yang penting, polisi menyadari posisinya sepenuhnya sudah dalam “kendali ” dan pengawasan publik. Bukan sebaliknya seperti disangkakan selama ini. Yang di era kemajuan tehnologi informasi semua dinding punya mata dan telinga.
Kita sadar kasus ini memang masih akan melalui proses panjang dan melelahkan demi memenuhi kaidah “scientific crime investigation”. Namun, kasus ” Polisi Tembak Polisi” sudah terang tanah. Kuncinya, karena itu tadi : orang -orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan kemanusiaan. Yang menjungkirbalikkan sistem nilai masyarakat Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Yang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sebagai bangsa berdaulat, sepuluh hari lagi akan kita peringati bersama. Merdeka!
Jakarta, 7 Agustus 2022
Oleh : Ilham Bintang
Wartawan Senior, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat